“Where the Wild Things Are” (2009): Ketika Imajinasi Liar ala Anak-Anak Mulai Dimainkan

 


“Bila kau pulang, maukah kau menceritakan hal-hal baik tentang kami?”

Salah satu film dengan vibes ‘menenangkan’ yang pernah aku tonton adalah “Where the Wild Things Are”. Masih inget banget, dulu pas kelas tiga SD film ini tayang di salah satu stasiun TV Indonesia. Sayangnya, waktu itu aku cuma bisa liat endingnya, dengan backsound lembut yang pas sama suasana laut, film ini bikin aku penasaran banget.

Terus, entah gimana ceritanya, awal masuk kuliah aku coba buat search judul filmnya dan akhirnya, ketemu! Jujur yang bikin aku penasaran sama film ini gegara backsoundnya yang ‘aku banget’. Suasana kalem, santai, tenang bener-bener bisa aku rasain, padahal baru sekali denger.

Jalan Cerita

Film ini terinspirasi dari buku anak-anak populer yang terbit pada tahun 1963 dengan judul sama karya Maurice Sendak.

“Where the Wild Things Are” bercerita tentang seorang anak kecil bernama Max. Sama kayak anak-anak pada umumnya, Max merupakan pribadi yang sangat aktif, suka bermain, dan imajinasinya terbang bebas.

Max tinggal bareng ibu dan kakaknya. Sayangnya ia sering merasa kesepian karena diabaikan oleh keluarganya. Namanya juga anak-anak, pas ga dapet perhatian, Max sering buat ulah biar bisa diperhatiin sama ibu dan kakaknya. Anak kecil emang suka banget jadi pusat perhatian.

Max yang ga suka diabaikan oleh ibu dan kakaknya mulai buat masalah, manggil kakaknya sambil teriak-teriak di dalam rumah, sampai naik ke atas meja makan. Ulah Max yang menjadi-jadi membuat ibunya yang udah pusing masalah kerjaan jadi marah.

Emang dasarnya Max ini bukan anak penakut, gertakan yang didapat malah dibalas dengan gigitan di bahu ibunya. Alhasil ya makin meledak si ibunya Max.

Melihat sang ibu yang marah ga karuhan, Max takut dan memutuskan buat kabur dari rumah. Ia terus berlari di tengah kesunyian jalanan malam sekitar rumahnya. Panggilan dan kejaran dari ibunya ga lagi dipedulikan. Hingga akhirnya ia sampai di pinggir laut dan berusaha kabur menggunakan kapal.

Meskipun hanya menggunakan kapal kecil tanpa mesin, Max yang sudah berhari-hari terombang-ambing di laut lepas berhasil menemukan sebuah pulau.

Selalu ingin tahu dan ga kenal rasa takut menjadi dua sifat Max yang dominan. Ia pun masuk dan menjelajahi pulau tersebut. Sampai akhirnya, Max ketemu sama tujuh ‘monster’ yang lagi ngebakar dan ngehancurin rumah-rumah mereka.

Pertemuan Max dan para monster dipicu sama satu tokoh monster yang Max rasa dalam kondisi sama kayak apa yang dia alami, merasa ga dibutuhkan sama siapapun dan hanya menjadi perusak suasana. Sejak pertemuan itu, Max diangkat menjadi raja bagi ketujuh monster.

Dari sinilah petualangan akan dimulai. Khayalan dan imajinasi khas anak-anak yang Max miliki terbayarkan dengan kisah bersama para monster di pulau tersebut.

Seputar Film dan Pendapat Ica

Max dan Para Monster. Lucu ya monsternya, hehe.

Meskipun film anak-anak, warna yang dihadirkan dalam “Where the Wild Things Are” sendiri cenderung gelap, tapi hangat. Penggambaran suasana pulau dan pinggir pantai dengan kehidupan ketujuh monster dan cuma mereka yang tersisa di pulau itu.

Ketujuh monster di sini bukan cuma sebagai pemanis aja, tapi masing-masing punya karakter yang sebenarnya mewakili karakter dan sifatnya Max. Judith yang cablak dan suka marah, Ira yang baik dan polos, Alexander si cengeng dan ga ada yang benar-benar peduli sama omongannya, Douglas yang penurut, KW mewakili sifat dewasa dan pengertian, serta Carol yang punya karakteristik paling dekat sama Max, paling vokal diantara monster-monster yang lain, dan selalu pengin supaya pendapatnya diterima sama orang lain.

Di film ini ga ada teka-teki yang harus dipecahkan layaknya film-film petualangan pada umumnya. Ceritanya bener-bener menggambarkan gimana kehidupan masa kanak-kanak yang isinya cuma main, lari-larian, ketawa-ketiwi, bersenang-senang, dan berantem sama temennya yang lain.

Gimana mereka masih suka kejar-kejaran, lempar-lemparan tanah, sampai ga rela kalau sahabatnya tiba-tiba berubah karena udah punya temen baru. Ala anak-anak banget, lucuuuu!!

Buat aku sendiri, gregetnya kurang sih, apalagi alur film ini lambat dengan jalan cerita dan konflik ala anak-anak yang tahapnya masih biasa aja. Salah paham sama hal-hal kecil dan gampang sakit hati dengan sebuah candaan.

Selain itu, ada beberapa adegan yang lompat-lompat, terutama pas bagian para monster yang lagi marah sama Max, bikin aku mikir “Lho, kok tiba-tiba jadi gini?”.

Tapi, kalo kamu lagi stres atau banyak pikiran, film ini menurutku bisa jadi salah satu opsi healing menarik yang patut dicoba. Ringan, sederhana, ga muter-muter, menunjukkan gimana polosnya dunia anak-anak yang emang masih seru dengan imajinasinya.

Diangkat dari cerita anak-anak bukan berarti film ini ga cocok ditonton sama orang dewasa. “Where the Wild Things Are” menyimpan banyak quotes menarik yang relate sama kehidupan manusia. Salah satu yang aku suka bunyinya gini:

“Kau tahu seperti apa rasanya saat gigimu tanggal secara pelan dan kau tak menyadarinya lalu kau menyadarinya, mereka benar-benar terpisah? Dan lalu di suatu hari kau tak punya gigi lagi.”

Kutipan di atas menggambarkan orang-orang yang satu per satu mulai pergi dari kehidupan manusia, entah karena dipisahkan oleh takdir atau fase hidup manusia yang datang dan pergi.

Emang ga semua manusia akan stay di kehidupan kamu sampai akhirnya kamu sadar kalo yang tersisa dan bisa diandalkan ya cuma kamu sendiri.

Ending

Max dan Carol sedang membuat benteng.

Apakah Max hidup bahagia bareng para monster di pulau itu? Bahagialah! Max bahagia banget bisa tinggal bareng Judith, Ira, Alexander, Douglas, KW, dan Carol. Ada temen yang selalu bisa diajak main dan yang paling seru mereka bisa bikin benteng ala-ala sebagai tempat tinggal di pulau itu.

Tapii, Max ga berasal dan terlahir dari sana. Apalagi, ia masih punya ibu dan kakak di tempat asalnya. Akhirnya, Max memutuskan buat kembali ke rumah.

Perpisahan Max dengan ketujuh monster kerasa banget sih sedihnya. Udah sama-sama klop dan sayang satu sama lain, tapi harus terpisah.

Meskipun sering berantem dan adu argumen, monster-monster di situ ga rela melepas Max balik ke rumahnya. Tapi ya mau gimana lagi, Max masih punya keluarga yang pasti khawatir banget sama kondisinya.

Max pulang. Naik kapal lagi, menyeberangi lautan.

Pertemuan Max sama ibunya sangat berbeda daripada saat ia meninggalkan rumahnya. Kali ini jauh lebih hangat dan menenangkan. Emang, gimanapun marahnya seorang ibu, ga akan menghilangkan kasih sayang buat anaknya.

Max bener-bener bahagia dan akhirnya bisa makan malam bareng ibunya dengan lahap.


Komentar

Postingan Populer